Potret Miring (Bagian 2)/ Cerita

By : ichsan tirtonoto

Kala itu aku hanya tersenyum bingung sambil memiringkan badanku melihat dia duduk menatap langit gelap.

“Ceritakan tentang perjalananmu!?. Tanyaku

“Hmm, itu sesuatu yang membosankan tapi baiklah aku ceritakan.

Malam itu dia bercerita tanpa jeda, aku mendengarkan semuanya tanpa jenuh seakan terlalu menarik untuk di lewatkan.

Ketika jiwanya mulai lelah berbicara kemudian bertanya padaku yang sedikit mengantuk.

“Apa yang membuat pantai ini spesial? Bukannya semua sama saja?

” bisa jadi kenangannya atau Pemandangannya. Jawabku

“Ada benarnya kata-katamu.

Awan mendung itu sudah mulai menggapai kami yang sedang asyik bercerita.

“Sepertinya awan itu semakin kemari?. Tanyaku

“Iya aku rasa begitu, kemungkinan akan turun hujan disini. Baiklah aku akan kembali ke penginapanku. Jawabnya

“Baik hati-hati.

Badanku masih berbaring diatas buaian pasir indah ini.

“Apakah kau akan tetap disini?.

“Iya, Aku ingin menyapa hujan itu.

“Kenapa? Nanti kau akan kedinginan dan sakit

“Hanya sekedar menyapa, tidak lebih.

Alangkah baiknya hujan itu benar-benar datang agar aku dapat melawan egoku ini.

“Ok. Jawabnya

Tak sampai 100 langkahnya hujan turun dengan derasnya.

Aku berusaha membuka mataku menghadapi hujan agar aku merasakan bendungan itu pecah dan mengalir deras tanpa henti.

Hujan ini sudah aku nantikan dalam melepas rasa bersalah hati dan fikiranku. hanya aku sendiri, hanya aku sendiri, hanya aku sendiri. Gumamku

Kenapa hujan ini pahit, kenapa hujan ini pedih aku tak tau bagaimana mengartikannya.
Kenapa aku hanya mengenal namamu, matamu dan rambutmu itu sedangkan hatimu tidak.!?

Aku berteriak dalam derasnya hujan di kesendirian.

30 menit berlalu sepertinya hujan tidak menunjukan kepergiannya. Dingin menusuk raga ini tak terasa lagi seakan kalah dengan diriku.

Kubaringkan lagi badanku menghadap pasir agar dapat kurasakan serbuan itu.

Ini bukan tipuan juga muslihat ku lihat kau berjalan mendekatiku dengan payung bertangkai hitam.

“Sebaiknya kau kembali. Pintanya

“Hmm baiklah, kau mengkhawatirkan aku?

“Ya, sangat!!. Pertama kalinya dalam hidupku melihat manusia sepertimu. Tanggung jawabmu itu terlalu berat dan besar, juga kau tak punya pilihan memilih hitam ataupun putih.
Aku mulai bangkit dari tidurku menuju gubuk tua tanpa dinding hanya atap dan rangkaian bambu tempatku bermimpi tanpa menghiraukan dia.
Aku berjalan tertatih dengan lindungan payungnya, seakan aku tak boleh lagi menyapa hujan ini.

Sampainya aku digubuk itu tanpa sadar aku menyebut namanya.

“Terima kasih sudah mengantarku ya —z-.

“Kemudian dia senyum sembari berjalan, namun seketika berhenti.

Dia menghadapku, kulihat kejora biru itu berkaca-kaca. Aku yang sedang dalam awang-awang semakin bingung melihatnya.

“Kau menyebut namaku?, ulangnya

Aku hanya diam, mengangguk.

Kemudian kejora itu semakin menipis dan dia menutup mulutnya yang pucat kedinginan seakan menahan kata-kata yang ingin diutarakannya.

“Ternyata kau mengingatnya.

Air matanya jatuh namun senyum puas itu seakan dia sudah melakukan misi yang sangat berbahaya.

Tiba-tiba penglihatanku gelap!!.

Aku merasakan semua kekuatan ragaku hilang seketika.

Aku rasa benar-benar bodohnya aku, dengan tubuh kecil ini mencoba melawan badai malam hari.